Latest Stories

A. Sekilas Tentang Negara Dunia ke-3

Istilah-istilah subyektif Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga, dapat dipergunakan untuk membagi negara-negara di muka bumi ke dalam tiga kategori yang luas. Dunia Ketiga adalah istilah yang pertama kali diciptakan pada 1952 oleh seorang demografer Perancis Alfred Sauvy untuk membedakan negara-negara yang tidak bersekutu dengan Blok Barat ataupun Blok Soviet pada masa Perang Dingin. Namun sekarang ini istilah ini sering dipergunakan untuk merujuk negara-negara yang mempunyai Indeks Pengembangan Manusia PBB (IPM), terlepas dari status politik mereka (artinya bahwa Republik Rakyat Cina, Rusia dan Brasil, yang semuanya saling bersekutu dengan erat selama Perang Dingin, seringkali disebut Dunia Ketiga). Namun, tidak ada definisi yang obyektif tentang Dunia Ketiga atau "negara Dunia Ketiga" dan penggunaan istilahnya tetap lazim.

Sebagian orang di lingkungan akademis menganggap istilah ini sudah kuno, kolonialis, diskriminatif dan tidak akurat. Namun ternyata istilah ini tetap dipergunakan. Pada umumnya, negara-negara Dunia Ketiga bukanlah negara-negara industri atau yang maju dari segi teknologi, dan karena itu di lingkungan akademis digunakanlah istilah yang lebih tepat secara politis, yaitu "negara berkembang".

Istilah-istilah seperti Selatan yang Global, negara-negara yang kurang makmur, negara berkembang, negara yang paling kurang maju dan Dunia Mayoritas telah semakin populer di kalangan-kalangan yang menganggap istilah "Dunia Ketiga" mengandung konotasi yang menghina atau ketinggalan zaman. Istilah Dunia Ketiga juga tidak disukai karena istilah ini menyiratkan pengertian yang keliru bahwa negara-negara tersebut bukanlah bagian dari sistem ekonomi global. Sebagian orang mengklaim bahwa ketertinggalan Afrika, Asia dan Amerika Latin pada masa Perang Dingin dipengaruhi, atau bahkan disebabkan oleh manuver-manuver ekonomi, politik, dan militer di masa Perang Dingin yang dilakukan oleh negara-negara yang paling kuat saat itu.

Negara berkembang (Negara dunia ke-3) adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan dan mengkategorikan negara-negara di dunia yang memiliki standar hidup relatif rendah, sektor industri yang kurang berkembang, skor Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) berada pada tingkat menengah ke bawah, serta rendahnya pendapatan perkapita. Negara yang dikategorikan sebagai negara berkembang adalah negara yang belum mencapai tingkat negara maju, tetapi bukan negara gagal (failed state). Dengan kata lain, negara berkembang berada di antara negara maju (tingkat teratas) dengan negara gagal (tingkat terendah). Negara berkembang yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih maju dibandingkan negara lain yang setingkat, tetapi belum mencapai tingkat negara maju disebut negara industri baru.

Pada pembahasan teori dan konsep negara di negara berkembang sebenarnya terletak pada bagaimana negara menjelmakan dirinya dalam sebuah keadaan atau kondisi yang spesifik, yakni keadaan dunia ketiga, yang karena kondisinya yang spesifik menghasilkan juga sifat-sifat spesifik. Jadi yang dibahas bukanlah sebuah teori baru tentang negara di Dunia Ketiga karena pada dasarnya tidak ada teori tersendiri tentang Dunia Ketiga.

B. Indikator Penilaian Sebuah Negara

Berikut beberapa hal yang dijadikan indikator atau ukuran penilaian untuk menggolongkan suatu negara sebagai negara maju atau berkembang:
1. Tingkat pertumbuhan penduduk.
2. Kualitas penduduk (tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan tingkat kesehatan).
3. Kemajuan teknologi dan penggunaannya.
4. Kemajuan industri dan penggunaannya.
5. Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA).
Kelima indikator pokok ini akan diuraikan lebih lanjut supaya kita memiliki gambaran mengenai bagaimana pengelompokan negara-negara tersebut ke dalam kategori negara berkembang dan negara maju.

1. Tingkat pertumbuhan penduduk
Menurut Carl Hub (1999: World Population Data Sheet), 98% peningkatan jumlah penduduk dunia terjadi di negara-negara berkembang. Tingkat kelahiran di negara berkembang umumnya masih tinggi. Sebaliknya, sejumlah negara maju justru mengalami penyusutan atau penurunan jumlah penduduk. Di negara-negara berkembang dan kurang maju peningkatan jumlah penduduk cukup dramatis. Misalnya, pada awal abad XXI Afrika mengalami pertumbuhan sebesar 34%. Tahun 1999 jumlah penduduk Afrika mengalami peningkatan 13%. Angka penurunan cukup besar, namun masih jauh jika dibandingkan dengan negara maju. Negara-negara maju telah mampu menekan angka kelahiran penduduk hingga kurang dari 1%. Population Reference Bureau menyebutkan bahwa wanita di wilayah subsahara Afrika memiliki Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate/TFR) tertinggi, yaitu 6 anak per wanita. Angka Kelahiran Total paling rendah tercatat di Eropa Selatan, yaitu ratarata 1,3 anak per wanita. Di negara-negara berkembang pertumbuhan penduduk tergolong lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju, Pertumbuhan penduduk Afrika termasuk paling tinggi yaitu 3 % per tahun. Amerika Latin, Asia, dan Oceania pertumbuhan penduduknya yaitu 2,1%; 1,9% dan 1,5% per tahun. Pertumbuhan penduduk paling rendah terdapat di wilayah Eropa yaitu 0,2% per tahun

2. Kualitas penduduk
Kualitas penduduk suatu negara dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu dari:
a. Tingkat pendidikan
b. Tingkat pendapatan (potensi ekonomi)
c. Tingkat kesehatan.
Ketiga hal tersebut berkaitan satu sama lain, saling mempengaruhi dan sulit untuk dipisahkan.

a. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan suatu negara diukur dari:
banyak sedikitnya jumlah penduduk buta huruf, tingkat pendidikan yang ditamatkan, dan status usia sekolah. Suatu negara dikatakan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, apabila:
- sebagian besar penduduknya telah bebas buta huruf;
- tingkat pendidikan rata-rata penduduknya cukup tinggi;
- semua penduduk usia sekolah menempuh pendidikan.

Rendahnya tingkat pendidikan penduduk suatu negara dipengaruhi oleh banyak hal. Di antaranya adalah beberapa hal berikut.

- Rendahnya pendapatan penduduk. Akibatnya, orang tua tidak mampu menyekolahkan
  anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
- Kurangnya kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan.
- Sarana dan prasarana pendidikan masih kurang memadai.
- Tidak seimbangnya jumlah sarana pendidikan dengan jumlah penduduk usia sekolah.

Jika dibandingkan kelompok negara berkembang, negara-negara maju memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi.

b. Tingkat pendapatan (potensi ekonomi)
Potensi ekonomi suatu negara dapat dilihat dari pendapatan per kapita penduduk. Selain itu, juga terlihat dari jenis tenaga kerja serta daya beli penduduk terhadap suatu produk. Pendapatan per kapita adalah rata-rata pendapatan penduduk suatu negara dalam satu tahun. Pendapatan per kapita diperoleh dari hasil bagi Produk Nasional Bruto (Gross National Product/ GNP) dengan jumlah penduduk. Jadi, makin tinggi GNP dan makin sedikit jumlah penduduk suatu negara, maka pendapatan per kapitanya akan makin besar. Pertumbuhan ekonomi di negara maju pada umumnya sangat pesat. Oleh karena itu pendapatan per kapita penduduknya juga sangat tinggi. Sebaliknya, di negara berkembang pendapatan per kapita penduduk rendah.

Tenaga kerja terbagi atas tenaga kerja terdidik dan tenaga kerja tidak terdidik. Dari keduanya, tenaga kerja terdidik lebih potensial untuk bidang ekonomi karena mampu mendayagunakan potensi alam dengan lebih baik. Sebagian besar penduduk negara maju adalah tenaga kerja terdidik yang bekerja di bidang nonagraris (industri, perdagangan, dan jasa). Tenaga kerja di negara berkembang sebagian besar kurang terdidik dan lebih banyak yang bekerja di bidang agraris. Potensi daya beli penduduk terhadap suatu produk merupakan potensi ekonomi nyata dalam menyerap hasil industri. Bila daya beli penduduk rendah, maka hasil industri tidak akan terserap sehingga berakibat buruk pada produksi selanjutnya. Negara yang memiliki daya beli tinggi disebut negara kaya, dan yang memiliki daya beli rendah disebut negara miskin.

Potensi ekonomi penduduk semakin rendah sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi sehingga tidak mampu menyediakan sandang, pangan, dan papan sesuai jumlah penduduk.

c. Tingkat kesehatan
Suatu negara memiliki kualitas kesehatan yang baik, jika ditandai dengan tingginya angka harapan hidup masyarakat, dan rendahnya angka kematian bayi. Angka harapan hidup adalah angka yang menunjukkan batas usia seseorang memiliki harapan hidup sejak lahir sampai meninggal dunia. Angka kematian bayi adalah jumlah bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun per 1.000 jumlah bayi lahir hidup.

Di negara maju fasilitas kesehatan berkembang cepat, peralatan kedokteran lebih canggih, jumlah tenaga medis sebanding dengan jumlah penduduk, dan tingkat gizi masyarakat tinggi. Di negara berkembang hal yang terjadi adalah kebalikan dari kondisi tersebut. Jumlah sarana dan prasarana kesehatan serta petugas medis belum sebanding dengan jumlah penduduk.
 
3. Kemajuan dan penggunaan teknologi
Tingkat pendidikan yang tinggi di negara maju berdampak pada perkembangan teknologi. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin pesat perkembangan teknologi.
Para ahli di negara maju mampu menghasilkan berbagai teknologi baru yang semakin modern dan sangat berfaedah. Teknologi mencakup banyak bidang, misalnya:

1. Teknologi pangan
Teknologi pangan berhubungan dengan penemuan berbagai cara baru dalam pengolahan hasil pertanian, peternakan, perikanan, serta cara pengawetan, penyimpanan, dan pengepakan.

2. Teknologi komunikasi
Di negara maju, penemuan berbagai alat komunikasi semakin canggih dari hari ke hari (handphone, PDA, dan lain-lain).

3. Teknologi kedokteran
Misalnya penemuan teknologi foto rontgen dengan sinar X, teknologi operasi laser, dan lain-lain. Kesemuanya itu sangat membantu terciptanya masyarakat dengan tingkat kesehatan tinggi.

4. Teknologi informasi
Teknologi ini berkaitan dengan komputer dan pemakaiannya. Komputer dengan pengolahan dan pembuatan data base yang semakin canggih sangat berperan dalam segala bidang (perbankan, kependudukan, perdagangan, dan sebagainya) Sebaliknya, di negara berkembang, rendahnya tingkat pendidikan penduduk berdampak pada terlambatnya perkembangan teknologi. Atau, meskipun banyak hasil teknologi modern dapat diimpor dari negara maju, namun rendahnya tingkat pendidikan menghambat kemampuan untuk mengoperasikan teknologi tersebut.
 
5. Kemajuan dan penggunaan industri
Kemajuan dan penggunaan industri merupakan ukuran penting yang membedakan negara maju dan negara berkembang. Pada umumnya, negara maju menjadikan industri sebagai tulang punggung perekonomian. Sebaliknya, di negara berkembang, industrialisasi masih belum berkembang.

Sering kali negara berkembang harus membeli hasil industri dari negara maju, meskipun sebenarnya bahan mentah produksi berasal dari negaranya. Misalnya, negara berkembang hanya dapat menghasilkan kayu gelondongan. Lalu negara tersebut mengekspornya ke negara maju. Di negara maju kayu diolah menjadi kayu lapis, chipboard, dan sebagainya. Lalu negara berkembang membeli hasil olahan tersebut dari negara maju. Perkembangan industri suatu negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan atau kemajuan teknologinya. Beberapa bentuk industri, adalah:
 - industri pertanian, kehutanan, dan perikanan;
 - industri pertambangan
 - industri manufaktur
 - industri konstruksi
 - dan lain sebagainya.

6. Pengolahan sumber daya alam
Setiap negara memiliki kekayaan alam yang berbeda-beda baik kuantitas maupun kualitasnya. Sumber daya alam meliputi pertanian, peternakan, kehutanan, dan pertambangan. Negara dengan kekayaan sumber daya alam yang besar belum tentu menjadi negara kaya. Sebaliknya, negara yang sumber daya alamnya terbatas dapat menjadi negara kaya. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan kemampuan pengolahan sumber daya alam yang ada. Terdapat dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, di negara berkembang kegiatan eksploitasi SDA cukup tinggi, namun kemampuan pengolahan masih kurang. Kedua, negara berkembang belum mampu melakukan eksploitasi SDA sama sekali. Hal itu disebabkan antara lain oleh:
- belum dimilikinya tenaga ahli;
- belum dimilikinya teknologi pendukung; dan
- tidak dimilikinya dana yang cukup.

Akhirnya negara berkembang sering kali harus membayar ahli dan menyewa peralatan dari negara lain yang tergolong maju. Negara maju memiliki teknologi dan keterampilan mengolah sumber daya alam. Sebaliknya, negara berkembang hanya memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah tanpa memiliki tenaga-tenaga terampil untuk mengolahnya. Negara berkembang umumnya adalah bekas negara jajahan. Pada masa penjajahan kegiatan pertanian dan pertambangan dibudidayakan untuk kepentingan penjajah. Setelah merdeka, ketika belum memiliki pabrik pengolahan sendiri, negara berkembang hanya memperoleh pendapatan dari hasil ekspor bahan mentah indutri ke negara maju. Misalnya karet mentah, kayu gelondongan, berbagai rempah, dan lain-lain.

C. Ciri-ciri Negara Dunia ke-3.
Negara Dunia ke-3 memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut.
1. Jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk besar serta penyebaran kurang merata.
2. Kualitas penduduk masih kurang atau rendah, ditandai dengan:
    rendah atau kurangnya tingkat pendidikan penduduk;
3. rendahnya tingkat pendapatan penduduk ditandai dengan rendahnya GNP dan
    pendapatan per kapita. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor agraris. Distribusi
    pendapatan juga belum merata.
4. rendah atau kurangnya tingkat kesehatan penduduk ditandai dengan rendahnya angka
    harapan hidup dan tingginya angka kematian bayi.
5. Teknologi masih kurang atau belum berkembang dengan baik. Pengoperasian 
    teknologi impor dari negara maju masih mengandalkan tenaga ahli dari negara
    bersangkutan. Dalam hal ini negara berkembang masih tergantung pada negara maju.
6. Industri belum berkembang. Perekonomian negara masih didominasi oleh sektor
    agraris.
7. Pengolahan sumber daya alam masih kurang maksimal. Penyebab utama adalah
    kurangnya tenaga kerja terdidik/ahli dan belum adanya penggunaan teknologi modern.


D. Contoh Negara Dunia ke-3.

- Taiwan
- Vietnam
- Colombia
- Malaysia
- Indonesia
- Thailand
- Peru
- Venezuela.


Referensi:
Arief Budiman, Teori Negara, 1996
Hamza Alavi, Teori Negara, 1996
Guillermo O, Donnel, Teori Negara, 1996
Carl Hub, World Population Data Sheet, 1999
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Read More ...

Latest Stories

Lake Toba (Indonesian: Danau Toba) is a lake and supervolcano. The lake is 100 kilometres long and 30 kilometres wide, and 505 metres (1,666 ft) at its deepest point. Located in the middle of the northern part of the Indonesian island of Sumatra with a surface elevation of about 900 metres (2,953 ft), the lake stretches from 2.88°N 98.52°E to 2.35°N 99.1°E. It is the largest lake in Indonesia and the largest volcanic lake in the world. Lake Toba is the site of a supervolcanic eruption that occurred 69,000–77,000 years ago, a massive, climate-changing event. The eruption is believed to have had a VEI intensity of 8. It is believed to be the largest explosive eruption anywhere on Earth in the last 25 million years. According to the Toba catastrophe theory to which some anthropologists and archeologists subscribe, it had global consequences, killing most humans then alive and creating a population bottleneck in Central Eastern Africa and India that affected the genetic inheritance of all humans today. This theory however, has been largely debated as there is no evidence for any other animal decline or extinction, even in environmentally sensitive species. However, it has been accepted that the eruption of Toba led to a volcanic winter with a worldwide decline in temperatures between 3 to 5 °C (5 to 9 °F), and up to 15 °C (27.0 °F) in higher latitudes.

Geology

The Toba caldera complex in Northern Sumatra, Indonesia consists of four overlapping volcanic craters that adjoin the Sumatran "volcanic front". The youngest and fourth caldera is the world's largest Quaternary caldera (100 km (62 mi) by 30 km (19 mi)) and intersects the three older calderas. An estimate of 2,800 km3 (670 cu mi) of dense-rock equivalent pyroclastic material, known the Youngest Toba tuff, was blasted from the youngest caldera during one of the largest single explosive volcanic eruptions in geologic history. Following the "Youngest Toba tuff eruption", a typical resurgent dome formed within the new caldera, joining two half-domes separated by a longitudinal graben. There are at least four cones, four stratovolcanoes and three craters visible in the lake. The Tandukbenua cone on the NW edge of the caldera is relatively lacking in vegetation, suggesting a young age of only several hundred years. Also, the Pusubukit volcano on the south edge of the caldera is solfatarically active.

The eruption

The Toba eruption (the Toba event) occurred at what is now Lake Toba about 67,500 to 75,500 years ago. The Toba eruption was the latest of a series of at least three caldera-forming eruptions which have occurred at the volcano, with earlier calderas having formed around 700,000 and 840,000 years ago. The last eruption had an estimated Volcanic Explosivity Index of 8 (described as "mega-colossal"), making it possibly the largest explosive volcanic eruption within the last 25 million years. Bill Rose and Craig Chesner of Michigan Technological University have deduced that the total amount of erupted material was about 2,800 km3 (670 cu mi) - around 2,000 km3 (480 cu mi) of ignimbrite that flowed over the ground, and around 800 km3 (190 cu mi) that fell as ash, with the wind blowing most of it to the west. The pyroclastic flows of the eruption destroyed an area of 20,000 square kilometres (7,722 sq mi), with ash deposits as thick as 600 metres (1,969 ft) by the main vent.

To give an idea of its magnitude, consider that although the eruption took place in Indonesia, it deposited an ash layer approximately 15 cm (5.9 in) thick over the entire South Asia; at one site in central India, the Toba ash layer today is up to 6 m (20 ft) thick and parts of Malaysia were covered with 9 m (30 ft) of ashfall. In addition it has been variously calculated that 10,000 million metric tons of sulphuric acid or 6,000 million tons of sulphur dioxide were ejected into the atmosphere by the event, causing acid rain fallout.

The Toba caldera is the only supervolcano in existence that can be described as Yellowstone's "bigger" sister. With 2,800 km3 (670 cu mi) of ejecta, it was an even greater eruption than the supereruption (2,500 km3) of 2.1 million years ago that created the Island Park Caldera in Idaho, USA. The eruption was also about three times the size of the latest Yellowstone eruption of Lava Creek 630,000 years ago. For further comparison, the largest volcanic eruption in historic times, in 1815 at Mount Tambora (Indonesia), ejected the equivalent of around 100 km3 (24 cu mi) of dense rock and made 1816 the "Year Without a Summer" in the whole northern hemisphere, whilst the 1980 eruption of Mount St. Helens in Washington State ejected around 1.2 km3 (0.29 cu mi) of material. The largest known eruption since the Toba event, the Oruanui eruption in New Zealand around 24,500 BC, ejected the equivalent of 530 km3 of magma. The subsequent collapse formed a caldera that, after filling with water, created Lake Toba. The island in the center of the lake is formed by a resurgent dome.

Though the year may never be precisely determined, the season can: only the summer monsoon could have deposited Toba ashfall in the South China Sea, implying that the eruption took place sometime during the northern summer. The eruption lasted perhaps two weeks, but the ensuing "volcanic winter" resulted in a decrease in average global temperatures by 3 to 3.5 degrees Celsius for several years. Greenland ice cores record a pulse of starkly reduced levels of organic carbon sequestration. Very few plants or animals in southeast Asia would have survived, and it is possible that the eruption caused a planet-wide die-off. There is some evidence, based on mitochondrial DNA, that the human race may have passed through a genetic bottleneck around this time, reducing genetic diversity below what would be expected from the age of the species. According to the Toba catastrophe theory proposed by Stanley H. Ambrose of the University of Illinois at Urbana-Champaign in 1998, human populations may have been reduced to only a few tens of thousands of individuals by the Toba eruption.


Read More ...

Latest Stories

Pasai, also known as Samudera and Samudera-Pasai sometimes called Samudera Darussalam was a Muslim harbour kingdom on the north coast of Sumatra from the 13th to the 15th centuries CE. It was believed the word Samudera derived from Samudra meaning ocean in Sanskrit. According to Hikayat Raja-raja Pasai, it was said Merah Silu saw an ant as big as a cat, he caught it and ate it and he named the place Samandara. King Merah Silu later converted to Islam, known as Malik ul Salih, he was the sultan in year 1267 CE.Pasai exported its culture, and most importantly its language — an early form of Malay written in the Jawi alphabet — to a number of islands. Later, this language became the lingua franca among traders in what is now Indonesia and Malaysia.
Arab and Indian Muslims had traded in Indonesia and China for many centuries. A Muslim tombstone in eastern Java bears a date corresponding to 1082. But substantial evidence of Islam in Indonesia begins only in northern Sumatra at the end of the 13th century. Two small Muslim trading kingdoms existed by that time at Pasai and Peureulak or Perlak. A 1297 royal tomb at Samudra is inscribed entirely in Arabic. By the 15th century several harbour kingdoms developed, all ruled by local Muslim princes, from the north coast of Java and elsewhere to as far east as Ternate and Tidore in Maluku. Marco Polo spent five months here, he had Ferlec, Basma, and Samara (Samudera) mentioned in his travel story. Another famous traveller Ibn Battuta on his way to China stayed 15 days at Samudera.
The establishment of the first Muslim centres in Indonesia was probably a result of commercial circumstances. By the 13th century the collapse of Srivijayan power, drew foreign traders harbours on the northern Sumatran shores of the Bay of Bengal, safe from the pirate lairs at the southern end of the Strait of Malacca. Northern Sumatra had a hinterland rich in gold and forest produce, and pepper was being cultivated at the beginning of the 15th century. It was accessible to all the merchants of the archipelago who wanted to meet ships from the Indian Ocean. By the end of the 14th century, Samudra-Pasai had become a wealthy commercial centre, giving way in the early 15th century to the better protected harbour of Malacca on the south-west coast of the Malay Peninsula. Majapahit attacked and looted the place in the middle of the 14th century.
Pasai's economic and political power depended almost entirely on foreigners. Muslim traders and teachers probably participated in its administration from the beginning and were bound to introduce religious practices that made them feel at home. The first Muslim beachheads in Indonesia, especially Pasai, were to a considerable extent genuine Muslim creations that commanded the loyalty of the local population and encouraged scholarly activities. Similar new harbour kingdoms formed on the northern coast of Java. Tomé Pires, author of the Suma Oriental, writing not long after 1511, stresses the obscure ethnic origins of the founders of Cheribon, Demak, Japara, and Gresik. These Javanese coastal states served commerce with India and China and especially with Malacca, an importer of Javanese rice. The rulers of Malacca, despite their prestigious Srivijayan origin, accepted Islam precisely in order to attract Muslim and Javanese traders to their port.
In some places within Banda Aceh is now discovered a few heritage of former empire, such Taman Sari, Gunongan. At its age, this park was called Park of Ghoirah or Darul Isqi. This name is still grafted at the river which is draining and cut off gunongan with the door of Kob, namely Krueng Daroy (Daroy River). Kandang XII is the funeral site of Sultans which is laid in the mid of town. In the site was found the famous Sultan of Aceh is Ali Mugayathsyah and his in charges. But the rest of the royal palace no more exist, as the palace (karaton) that was established from the wood had been burnt by the Dutch when Aceh was in colonialism (1873-1878). The original mosque of Baiturrahman also revitalized, the old mosque was either burnt, the mosque that is still remaining until this present time is the mosque that was built by the Dutch Colonialism followed the architecture of Moghul. This mosque with the dome, in early was built by the Dutch with three domes. The original mosque of Baiturrahman can be only seen through the picture. The shape is similar with the style of the mosque of Demak and Banten, which has five levels roof shaped pyramid.
So, where we started the story of Aceh? The history of the kings who ruled new Aceh can be mentioned clearly from the source of history which is believable, beginning from the establisher of the kingdom of Aceh namely Ali Mughayatsyah, died in 12th Dzulhijjah 936 H ( Augustus 7th 1530). Previously, it was commonly called the preceded of the kings started from Ali Mughayatsyah even the Fable of Aceh started to air since it began from the king of Johansyah (601-631 H). Based on the Dauler Crony, Djajaningrat rose his statement into the list of the kings of Aceh as follow:
1.Johansyah 601 – 631 H
2.Ri’ayatsyah 631 – 665 H. (the son of Johansyah was previously named Sultan Ahmad)
3.Mahmudsyah 665 – 708 H. (son of Ri’ayatsyah)
4.Firmansyah 708 – 775 H. (son of Mahmudsyah)
5.Mansyursyah 778 – 811 H.
6.Alauddin Johansyah 811 – 870 H.
7.Huseinsyah 870 – 901 H.
8.Ali Ri’ayatsyah 901 – 917 H.
9.Salahuddin 917 – 946 H.

According to the list that has been stated by Djajaningrat that in 10th century can be claimed accordingly in the source of history, because in the last name of the list above has been popularized by the people of Portugal. This crony also told about the king of Mudhafarsyah ruled in Mahkota Alam, (it’s now Banda Aceh), while in Darul Kamal was ruled by ‘Inayatsyah. Both of the small empires remained under attack each other. Finally, these empire could be united in forward these empire named The Empire of Aceh Darussalam by Ali Mughayatsyah. In a complex of cemetery called Biloy (The Sub-District of Great Aceh), found some of the kings name which appeared looked like the kings of previous Aceh, namely Mahkota Alam and Darul Kamal. In the cemetery complex also found the cemetery of the King Mughayasyah and ‘Inayatsyah.
Mughayatsyah as the establisher of the kingdom of Aceh and the unifier two little of empire Mahkota Alam and Darul Kamal, selecting Banda Aceh as the capital of kingdom, which was at that period Banda Aceh has accepted by many foreign traders. In the record of traveler and traders said that the center of commercial, Banda Aceh was good to dock the big vessels. The harbor was rather difficult to be docked by the big vessel as the huge wave of Indian Ocean. However, the international circumstance continued making a profit in falling the kingdom of Malaka caused the Moslem traders who previously docked and traded in Malaka looking forward for the alternative Moslem pearl, so Aceh has become overcrowded. After organizing the kingdom central, Mughayasyah spread out his wing out of the territory and making invasion to the closer regions to conquer them such as : Daya, Pidie, Pasai, and Deli, was successfully conquered in 1524. In the battle with Portugal troops at the coast of Malaka in 1521, again Mughayatsyah successfully defeated Portugal troops led by Jorge de Brito. Mugayatsyah was then replaced by his oldest son named Salahuddin who invaded Malaka in 1537, but the invasion out of expectation. Under the replacement of Salahuddin, Alauddin Ri’ayatsyah was often nicknamed Al Kahar (the conqueror), the kingdom of Aceh grew rapidly. He was the last son of Mughayatsyah who enthroned in 1538. Based on the notification of the travelers of Portugal F.Mendez Pinto ( who came by in Aceh in 1539), under the sultan Al Kahar the troops of Aceh have interconnection with the foreign troops, one of them was Turkey.
Read More ...